Huayou Cobalt juga telah berusaha untuk melakukan ekspansi dengan berinvestasi di Indonesia untuk mendapatkan lebih banyak sumber bahan baku lain yang digunakan untuk memproduksi baterai EV. Perusahaan ini menandatangani perjanjian kerja sama kerangka kerja dengan perusahaan nikel yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia, Vale Indonesia, untuk mengembangkan fasilitas pengolahan pelindian asam bertekanan tinggi (high pressure acid leaching/HPAL) di Pomalaa, Sulawesi Selatan, dengan harga yang tidak diungkapkan. Kesepakatan tersebut mengharuskan Huayou Cobalt untuk membangun proyek HPAL Pomalaa dan kemudian Vale Indonesia memiliki hak untuk mengakuisisi hingga 30% saham di dalamnya.
Proyek HPAL Pomalaa akan memproses bijih limonit dan bijih saprolit kadar rendah dari tambang Vale Indonesia di Pomalaa dan menghasilkan endapan hidroksida campuran dengan kapasitas produksi hingga 120.000 metrik ton nikel per tahun, yang akan digunakan untuk baterai kendaraan listrik.
Direktur Keuangan Vale Indonesia, Bernardus Irmanto, mengatakan bahwa Huayou Cobalt sedang mempersiapkan studi terkait, antara lain, pasokan listrik, pasokan air, dan proses tailing, yang akan dilaksanakan dalam waktu enam bulan. Pembangunan proyek HPAL akan dimulai pada akhir tahun ini, dan dijadwalkan selesai dalam waktu tiga tahun.
“Kami berharap untuk mendapatkan keuntungan dari perkembangan proyek Pomalaa yang cepat, karena Huayou akan melakukan investasi awal,” kata Bernardus.
Proyek ini merupakan salah satu dari dua proyek smelter di Sulawesi yang akan datang untuk Vale Indonesia, dengan proyek smelter kedua berlokasi di Sulawesi Tengah. Vale Indonesia saat ini mengoperasikan tambang dan pemurnian nikel terintegrasi di Sorowako, Sulawesi Selatan. Kilang nikel ini telah beroperasi selama 53 tahun dan menghasilkan emisi karbon terendah per ton nikel di Indonesia.
Perusahaan telah berjanji untuk menghindari penggunaan batu bara untuk menggerakkan smelter-smelter barunya, dengan rencana mengganti bahan bakar fosil beremisi tinggi tersebut dengan tenaga air di Sorowako dan gas alam cair (liquified natural gas/LNG) di Blok Bahodopi.
Meskipun Vale Indonesia belum mengungkapkan sumber energi apa yang akan digunakan untuk menggerakkan smelter baru di Blok Pomalaa, mereka memiliki tenggang waktu maksimal 6 bulan untuk mengambil keputusan. Pembangunan smelter telah dimulai, dan diharapkan selesai dalam waktu tiga tahun.
Selain itu, Vale Indonesia yakin bahwa pengalaman Huayou dalam teknologi pertambangan yang lebih efisien akan membantu mempercepat penyelesaian komponen mekanis dalam waktu satu tahun atau kurang. “Kami mengapresiasi mitra kami yang sejalan dengan agenda rendah karbon kami, untuk tidak menggunakan pembangkit listrik tenaga batu bara. FCA ini merupakan bukti keselarasan komitmen keberlanjutan kami, yang sangat penting bagi PT Vale,” ujar Febriany dalam acara penandatanganan pada 27 April lalu.
“Huayou memiliki rekam jejak yang telah terbukti dalam pembangunan dan pengoperasian HPAL di Indonesia. Kami yakin bahwa kedua belah pihak dapat menjadi pelengkap yang baik untuk satu sama lain.”
Kedua belah pihak sepakat bahwa Huayou akan membangun dan mengembangkan Proyek HPAL Blok Pomalaa, sementara Vale Indonesia memiliki hak untuk mengakuisisi saham hingga 30 persen di proyek tersebut.
Smelter ini akan dilengkapi dengan prosesor, teknologi, dan sistem HPAL Huayou yang telah teruji untuk memproses bijih limonit dan saprolit berkadar rendah dari tambang Blok Pomalaa milik Vale Indonesia guna menghasilkan endapan hidroksida campuran (mixed hydroxide precipitate/MHP). Kapasitas terpasang minimum smelter diperkirakan mencapai 120.000 metrik ton nikel per tahun, dan PLTMH diharapkan dapat berkontribusi pada industri kendaraan listrik (EV) di Indonesia, yang diperkirakan akan tumbuh sebesar 23% tahun ini.
“Ini merupakan tonggak penting yang mencerminkan komitmen kami sejak lama untuk mengembangkan sumber daya nikel kelas dunia di Indonesia,” ujar Presiden Komisaris Vale Indonesia, Deshnee Naidoo, yang menghadiri penandatanganan FCA melalui sambungan video.
Huayou telah terlibat dalam pengembangan beberapa smelter nikel dan kobalt di Indonesia, terutama karena investasi di industri kendaraan listrik di Indonesia telah meningkat secara signifikan belakangan ini. Berbicara kepada Reuters, perusahaan ini menargetkan produksi tahunan sebesar 120.000 ton nikel dan 15.000 ton kobalt.