Indonesia Hentikan Ekspor Batu Bara Bulan Januari

Indonesia telah menangguhkan ekspor batubara termal untuk bulan Januari untuk mengalihkan pasokan ke utilitas domestik yang sedang bergulat dengan kekurangan pasokan, dan untuk menghindari pemadaman listrik yang meluas yang dapat melumpuhkan aktivitas ekonomi.

Langkah yang belum pernah terjadi sebelumnya oleh eksportir batubara termal terbesar di dunia ini telah memicu ketidakpastian di pasar seaborne karena keputusan tersebut akan memblokir pengiriman ke konsumen utama seperti China menjelang musim puncak permintaan musim dingin, bahkan dengan kesepakatan yang telah disepakati untuk mengamankan kargo yang cepat. Langkah tersebut dapat meningkatkan volatilitas harga setelah harga spot naik lebih dari separuhnya setelah mencapai level tertinggi dalam beberapa tahun terakhir pada akhir Oktober 2021

Argus menilai batu bara GAR 4.200 kkal/kg (NAR 3.800 kkal/kg) pada level tertinggi sepanjang sejarah sebesar $154,21/t pada tanggal 22 Oktober 2021, setelah level terendah sepanjang sejarah sebesar $22,40/t pada tanggal 11 September 2020. Pasar terakhir ditaksir pada $60,41/t fob Kalimantan pada tanggal 31 Desember.

Keputusan untuk melarang ekspor ini menyusul seruan dari pihak berwenang dalam beberapa minggu terakhir kepada para produsen batubara untuk memenuhi kewajiban pasar domestik mereka (DMO), di mana para pemasok harus mengirimkan setidaknya 25% dari output mereka ke pasar domestik. Larangan ekspor ini muncul ketika sejumlah perusahaan utilitas dikatakan hanya memiliki persediaan batubara selama empat hari setelah hujan lebat di beberapa bagian dari wilayah penghasil utama di Kalimantan juga membatasi produksi.

Pasokan batubara untuk utilitas domestik saat ini sangat kritis dan sangat rendah dan dapat berdampak pada sistem kelistrikan nasional, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengatakan pada tanggal 31 Desember. Batu bara termal yang sudah dimuat ke kapal atau berada di pelabuhan muat harus dialihkan ke utilitas, katanya.

Industri pertambangan batubara menyebut keputusan tersebut sebagai “tidak tepat” karena dapat mengganggu produksi batubara bulanan sebesar 38 juta-40 juta ton dan mempengaruhi arus kas para produsen, demikian dikatakan oleh Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI).

Sejumlah pemasok batu bara Indonesia telah menyatakan keadaan kahar (force majeure) dengan alasan larangan tersebut. Keputusan ini juga akan mempengaruhi para pengirim barang karena mereka dapat dikenakan biaya demurrage sebesar $20.000-40.000/hari, sementara pemerintah dapat menghadapi sekitar $3 milyar/bulan dalam bentuk kerugian valuta asing di luar kerugian dalam bentuk royalti dan pendapatan lainnya, demikian ungkap APBI.

Penangguhan ekspor batubara akan dievaluasi dan ditinjau ulang berdasarkan realisasi pasokan untuk PLN dan anak perusahaannya serta produsen listrik independen lainnya di dalam negeri, demikian ESDM mengatakan.

Keputusan ini juga bisa menghambat rencana Indonesia untuk meningkatkan produksi tahun ini. Bulan lalu, ESDM memperkirakan bahwa produsen batu bara dapat meningkatkan produksi menjadi 637 juta-664 juta ton pada tahun 2022, berdasarkan diskusi awal dengan perusahaan pertambangan batu bara dan pemangku kepentingan industri lainnya. Target produksi batu bara Indonesia untuk tahun 2021 ditetapkan sebesar 625 juta ton. Namun, produksi kumulatif tahun lalu mencapai 611,42 juta ton, menurut data ESDM. Keterlambatan pelaporan berarti bahwa pemerintah sering merevisi angka-angka historis, sehingga produksi mungkin lebih tinggi daripada yang ditunjukkan oleh data saat ini.

Kombinasi beberapa faktor seperti gangguan terkait cuaca dan kekurangan alat berat pertambangan merupakan beberapa alasan yang disebutkan untuk produksi yang lebih rendah dari yang ditargetkan tahun lalu. Pada bulan Agustus 2021, Indonesia mengumumkan rencana untuk memperketat peraturan bagi perusahaan tambang batu bara yang gagal memenuhi DMO mereka, termasuk kemungkinan melarang produsen mengekspor batu bara.

Oleh Saurabh Chaturvedi