OLEH : RANGGA PRAKOSO, HERMAN
02 JANUARI 2022
Jakarta. Pemerintah telah melarang ekspor batubara di bulan Januari, dengan alasan kekhawatiran bahwa pasokan yang tidak mencukupi di pembangkit-pembangkit listrik dalam negeri dapat mengakibatkan pemadaman listrik yang meluas, seorang pejabat senior kementerian energi mengatakan pada hari Sabtu.
Indonesia mengandalkan bahan bakar fosil untuk pembangkit listriknya, dengan sekitar 60 persen pembangkit listriknya mengambil energi dari batu bara. Untuk memastikan pasokan domestik, negara ini memberlakukan kebijakan kewajiban pasar domestik (DMO). Peraturan tersebut mewajibkan para penambang batu bara untuk memasok 25 persen dari produksi tahunan kepada Perusahaan Listrik Negara (PLN) dengan harga maksimum $70 per metrik ton, sekitar separuh dari harga pasar global saat ini.
Kebijakan ini bertujuan untuk mempertahankan pasokan batubara selama 20 hari untuk pembangkit listrik lokal, atau sekitar 5,1 metrik ton. Namun, per 1 Januari, para penambang batubara lokal hanya memenuhi kurang dari 1% dari pasokan yang dibutuhkan, ujar Ridwan Jamaluddin, direktur jenderal mineral dan batubara di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, dalam sebuah pernyataan.
“Mengapa ekspor dilarang untuk semua orang? Kami tidak bisa menahannya, dan ini hanya bersifat sementara. Jika larangan ini tidak dilaksanakan, lebih dari 20 pembangkit listrik dengan kapasitas gabungan 10.850 megawatt akan ditutup,” ujar Ridwan dalam pernyataannya.
“Jika tidak ada tindakan strategis yang diambil, pemadaman yang meluas mungkin terjadi,” katanya, seraya menambahkan bahwa pemerintah berencana untuk meninjau kembali larangan tersebut setelah tanggal 5 Januari.
Ini adalah larangan kedua dalam waktu kurang dari satu tahun setelah Pemerintah menghentikan ekspor batubara dari 34 penambang batubara pada bulan Agustus lalu karena gagal memenuhi DMO mereka dalam tujuh bulan sebelumnya.
Reaksi bisnis
Arsjad Rasjid, ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, mengatakan bahwa Kadin mendukung kebijakan pemerintah untuk menjamin pasokan listrik nasional. Namun, ia menyayangkan pelarangan ini dilakukan secara sepihak dan tergesa-gesa sehingga dapat membahayakan pemulihan ekonomi dan iklim investasi di Indonesia.
“Pemerintah tidak bekerja sendirian. Ada peran penting dunia usaha dalam pemulihan ekonomi nasional di masa pandemi. Jadi kami sangat berharap kebijakan pemerintah yang berdampak pada dunia usaha dan perekonomian nasional, seperti pelarangan ekspor batubara, harus dibicarakan bersama,” kata Arsjad.
Arsjad, yang juga menjabat sebagai presiden direktur di salah satu grup penambang batubara terbesar di Indonesia, Indika Energy, mengatakan bahwa lonjakan harga batubara dalam beberapa bulan terakhir telah membantu ekspor Indonesia mengungguli sektor-sektor lain dan membantu pemulihan ekonomi Indonesia.
Negara Asia Tenggara ini merupakan pengekspor batu bara termal terbesar di dunia, dengan perkiraan 400 juta metrik diekspor pada tahun 2020, terutama ke Tiongkok, India, Jepang, dan Korea Selatan.
Kadin juga mempertanyakan pernyataan pemerintah mengenai kekurangan pasokan batubara dalam negeri. Arsjad mengatakan bahwa tidak semua pembangkit listrik, termasuk yang dioperasikan oleh produsen listrik independen, mengalami kekurangan batu bara yang kritis.
“Banyak anggota Kadin yang merupakan perusahaan pemasok batubara, dan mereka telah berusaha semaksimal mungkin untuk memenuhi kontrak penjualan dan peraturan penjualan batubara untuk kelistrikan nasional,” ujar Arsjad.
Oleh karena itu, Kadin berharap pemerintah dapat menerapkan sistem reward and punishment yang adil dan konsisten, bukan pelarangan menyeluruh untuk semua perusahaan batubara.
Arsjad meminta pemerintah untuk meninjau kembali larangan ekspor batubara, terutama karena banyak perusahaan penambang yang memiliki kontrak dengan luar negeri. Kegagalan dalam melakukan hal tersebut akan merusak citra negara terkait konsistensi kebijakan dalam berbisnis.
“Reputasi Indonesia sebagai pemasok batubara global akan tercoreng,” kata Arsjad.
“Selain itu, upaya kita untuk menarik investasi, sebagai negara yang ramah investor dan iklim usaha yang pasti dan dilindungi oleh hukum akan menurun reputasinya. Minat investor terhadap sektor pertambangan, mineral, dan batu bara akan berkurang karena sektor-sektor tersebut dianggap tidak dapat memberikan kepastian bagi dunia usaha,” katanya.