Managing Director Energy Shift Institute Putra Adhiguna menilai Indonesia perlu meningkatkan kapasitas produksi baterai, karena diperkirakan hanya akan memiliki 10 gigawatt hour (GWh) atau kurang dari 0. 4% dari kapasitas produksi baterai global pada tahun 2024.
“Energy Shift Institute memperkirakan Indonesia hanya akan memiliki 10 gigawatt-jam (GWh) atau kurang dari 0,4% dari kapasitas produksi baterai global, 2.800 GWh,” kata Putra, seperti dilansir dari Antara, Jumat, 9 Februari 2024.
Menurut Putra, nilai tambah produk nikel Indonesia berkisar antara dua hingga 11 kali lipat dari produk mentahnya. Namun, nilai ini masih jauh di bawah nilai tambah yang lebih dari 60 kali lipat jika mencapai produksi baterai.
Putra melanjutkan, bahwa konstruksi kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan daya saing nikel Indonesia bertumpu pada janji pengembangan industri baterai dan kendaraan listrik.
Eksportir Setengah Jadi
Kecuali jika kapasitas produksi baterai Indonesia ditingkatkan, Putra yakin Indonesia hanya akan bergeser dari pengekspor produk nikel untuk baja tahan karat menjadi pengekspor produk setengah jadi untuk industri baterai.
“Penting bagi berbagai pihak yang terlibat untuk tidak meremehkan skala pertumbuhan di masa depan karena revolusi kendaraan bermotor listrik berbasis baterai di dunia baru saja memasuki tahap awal,” katanya.
Mengenai pertumbuhan pesat baterai bebas nikel dan perdebatan mengenai masa depan nikel, Putra mengatakan bahwa permintaan global akan nikel untuk baterai kemungkinan akan terus meningkat.
Peningkatan tersebut, katanya, dapat terjadi seiring dengan tingkat adopsi kendaraan bermotor listrik berbasis baterai meskipun sudah ada teknologi alternatif. “Penting untuk dicatat bahwa dalam sektor yang berkembang pesat, angka pertumbuhan absolut lebih penting daripada pangsa pasar,” kata Putra.
Selain nikel, Putra berpendapat bahwa yang sering luput dari perhatian adalah peningkatan produksi kobalt oleh Indonesia sebagai produsen kobalt terbesar kedua di dunia.
“Hal ini semakin menegaskan pentingnya pengelolaan sumber daya alam yang optimal,” katanya.
Sumber gambar: Medcom / AFP