Pemerintah memastikan upaya menggenjot hilirisasi nikel menjadi baterai kendaraan listrik akan terus dilakukan.
Komitmen ini disampaikan di tengah persaingan ketat teknologi baterai berbasis Lithium Ferro Phosphate (LFP) dan NMC, yang merupakan kombinasi dari Nikel, Mangan, dan Kobalt.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arifin Tasrif, menjelaskan bahwa beberapa produsen otomotif yang mengadopsi teknologi baterai LFP untuk mobil listrik cukup dominan.
“Kami memang memiliki masalah. Baterai lithium (NMC) hilir belum bergerak. Itu yang perlu dikembangkan,” ujar Arifin di Kantor Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM, Jumat (16/2).
Arifin menjelaskan potensi industri nikel di Indonesia di masa depan masih sangat potensial. Baterai berbasis nikel masih akan tetap dibutuhkan, dengan populasi kendaraan roda dua yang mencapai 120 juta unit dan roda empat sebanyak 24 juta unit.
Selain itu, setiap jenis baterai listrik dianggap memiliki pasarnya sendiri.
“Yang perlu kita perhatikan adalah kualitas, dan di sisi lain kita perlu mendorong industrialisasi sumber daya alam mineral kita untuk dapat memproduksi baterai listrik,” tambah Arifin.
Sebelumnya, Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Percepatan Pengembangan Industri Sektor ESDM, Agus Tjahjana, mengungkapkan bahwa kedua jenis baterai ini masing-masing memiliki pasarnya.
“(Ada pasar) untuk kelas bawah dan kelas atas. Keduanya menguntungkan. Kalau yang high-end kan mahal. Ngapain pakai LFP yang jangkauannya pendek lalu berat,” jelas Agus di Kementerian ESDM, Jumat (28/1).
Agus mengungkapkan kendaraan listrik kelas bawah akan menggunakan baterai LFP. Sementara itu, pasar kendaraan listrik kelas atas akan menggunakan NMC. Contohnya adalah kendaraan listrik Hyundai tipe Ioniq yang telah dikonfirmasi menggunakan baterai NMC.
Sementara itu, densitas atau kapasitas energi kedua jenis baterai ini pada umumnya berbeda.
Tingkat kepadatan LFP dianggap lebih rendah. Kemudian, jika teknologi LFP ingin meningkatkan kapasitasnya, volumenya juga akan meningkat. Metode ini dianggap tidak cocok untuk diterapkan pada kendaraan kelas atas.
“Bayangkan Anda menggunakan mobil mahal (tapi) berat dengan baterai, itu tidak cocok,” jelas Agus.
Agus menjelaskan bahwa untuk kendaraan listrik yang mahal atau kelas atas, lebih baik menggunakan teknologi baterai yang mahal seperti NMC karena dapat menghemat tempat dan lebih ringan.
Sementara itu, kendaraan dan armada transportasi yang murah atau kelas bawah seperti truk atau bus dapat menggunakan teknologi LFP.
Dalam hal usia penggunaan, LFP dianggap lebih unggul daripada NMC. Salah satu faktornya adalah tingkat penyerapan atau konsumsi energi LFP yang lebih rendah.
Meskipun dari segi harga, teknologi NMC masih lebih mahal, namun tren penurunan harga dinilai akan terus terjadi.
Agus juga menegaskan bahwa dibutuhkan pabrik berskala internasional dengan investasi yang cukup besar untuk membangun pabrik baterai.
“Pabrik baterai tidak bisa hanya berskala nasional, entah itu LFP atau NMC, harus berskala internasional. Kalau kita batasi hanya boleh menggunakan NMC karena kita punya NMC, nanti orang lari,” kata Agus.
Sumber gambar: KONTAN / Cheppy A Muchlis
Sumber: https://english.kontan.co.id/news/indonesia-promotes-nmc-batteries-amid-lfp-domination-in-electric-vehicles