Provinsi Sumatera Barat yang memiliki kawasan hutan yang luas diketahui menyimpan sumber daya bijih yang besar dengan kadar besi (Fe) yang cukup baik.
Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sumatera Barat, Herry Martinus, mengatakan bahwa dalam hal pertambangan bijih besi, semua kewenangan, mulai dari perizinan hingga pengawasan, berada di tangan pemerintah pusat.
Ia mengakui bahwa ESDM Sumbar belum memiliki data pasti terkait sebaran tambang bijih besi karena pemerintah provinsi tidak memiliki kewenangan untuk melakukan pemetaan lapangan terkait potensi bijih besi tersebut.
Namun, berdasarkan data yang ada dari beberapa perusahaan yang melakukan survei sumber daya bijih besi di wilayah Sumatera Barat, terdapat sumber daya atau potensi bijih besi sebesar 75 juta metrik ton (MT) dengan kandungan 62% Fe.
“[The 75 million MT] berada di luar hutan lindung. Jika sumber daya berada di dalam hutan lindung, diperkirakan lebih dari 100 juta MT. Namun, tidak ada izin yang akan diberikan untuk penambangan di kawasan hutan lindung,” ujarnya pada hari Senin (29/1/2024).
Kondisi sumber daya bijih besi sebesar 75 juta MT saat ini adalah beberapa perusahaan telah menggarapnya dengan izin yang dimiliki oleh perusahaan tambang bijih besi sejak tahun 2015.
Menurut data yang dimiliki oleh ESDM Sumatera Barat, potensi bijih besi mencapai 35 juta MT di lahan seluas 1.561,94 hektar yang tersebar di empat kabupaten di Sumatera Barat dan telah digarap oleh 8 perusahaan, yaitu Kabupaten Pasaman Barat, Solok, Pasaman dan Dharmasraya.
Herry merinci, dari empat daerah tersebut, tambang bijih besi yang saat ini sudah beroperasi ada di dua titik di daerah Solok dan satu titik di Pasaman Barat.
“Data yang saya miliki menunjukkan ada delapan perusahaan yang memiliki izin (IUP/izin usaha pertambangan) untuk melakukan kegiatan penambangan bijih besi di Sumatera Barat,” katanya.
PT Karya Usaha Aneka Tambang, yang berlokasi di Solok, memiliki lahan seluas 31 hektar dengan hasil tambang sebesar 1,7 juta ton. Kemudian, di Pasaman Barat, PT Gamindra Mitra Kesuma mengolah lahan seluas 163,30 hektar dan menambang 560.649 ton bijih besi.
Selanjutnya, PT Arosuka Mandiri di Solok memiliki lahan seluas 198 hektar dan 9.091.601 MT bijih besi. PT Dharmapower Bersama, juga di Solok, memiliki lahan seluas 190 hektar dengan 26.416.319 MT bijih besi.
PT Mineral Sukses Makmur juga beroperasi di Solok seluas 73,70 hektar, dan telah menambang 3.628.000 ton bijih besi.
Herry mengatakan bahwa perusahaan lain di Dharmasraya, PT Tambang Sungai Suir, juga akan menggarap sumber daya bijih besi dengan luas area 180 hektar dan memiliki potensi 12.014.256 MT, namun belum digarap, meskipun sudah memiliki izin.
“Perhitungan sumber daya bijih besi tidak sama ketika sudah ditambang,” jelasnya.
Ia mengatakan bahwa jumlah sumber daya yang diketahui akan berkurang ketika ditambang. Katakanlah potensi yang diperkirakan adalah 2 juta MT di suatu daerah, tetapi ternyata hanya 1,5 juta MT setelah penambangan.
“Hal ini wajar karena potensi tersebut hanya merupakan angka perkiraan,” katanya.
Sedangkan untuk perusahaan lainnya, PT Pancasona Jaya Pratama di Solok dan PT Sumber Minera Bersama di Pasaman telah mendapatkan izin namun belum mengeksploitasi potensi yang ada.
“Menurut data dari pemerintah pusat yang kami dapat, aktivitas penambangan bijih besi juga tidak sering, karena alasan dari perusahaan terkendala oleh biaya produksi penambangan, seperti biaya peralatan dan berbagai kebutuhan lainnya,” katanya.
Menurutnya, kondisi saat ini baru sekitar 50% dari potensi bijih besi di Sumatera Barat yang telah dieksploitasi oleh perusahaan tambang. Delapan izin usaha pertambangan (IUP) tersebut merupakan perusahaan domestik.
“Memang perusahaan dalam negeri yang mengerjakannya. Namun, hanya di Pasaman Barat saja yang melibatkan China, tapi izinnya dari dalam negeri,” katanya.
Mengatasi Dampak Lingkungan
Herry tidak memungkiri bahwa kegiatan penambangan bijih besi memiliki dampak lingkungan karena akan terjadi penebangan hutan.
Namun, dalam izin kegiatan penambangan bijih besi, ada beberapa hal yang harus dipatuhi oleh perusahaan tambang.
Mulai dari penghijauan, yaitu menanam pohon di lahan bekas tambang atau mengubah lahan bekas tambang yang dapat mendatangkan nilai ekonomis, seperti menjadi kawasan objek wisata.
“Pengelolaan lahan bekas tambang ini terlihat jelas di bekas tambang batu bara di Sawahlunto yang kini menjadi objek wisata baru. Perusahaan tambang bijih besi berkewajiban menanganinya, sehingga kondisinya kembali hijau dan bermanfaat,” jelas Herry.
Ia mengatakan bahwa dengan adanya kegiatan penambangan bijih besi, pemerintah daerah mendapatkan dana bagi hasil (DBH) dan lapangan pekerjaan bagi masyarakat yang tinggal di sekitar perusahaan sehingga ekonomi lokal dapat tumbuh melalui pembinaan pelaku UMKM.
“Dana bagi hasil untuk Sumatera Barat tergantung dari jumlah bijih besi yang diperoleh perusahaan, jadi perhitungannya persentase. Mungkin tidak banyak karena dana penerimaan terbesar masih dari tambang batu bara baru yang mencapai Rp 35 triliun, dan sedikit dari nilai itu berasal dari tambang bijih besi, tapi saya tidak ingat data detailnya,” katanya.
Izin Pertambangan Bukan Kewenangan Daerah
Herry menyebutkan bahwa kewenangan perizinan pertambangan bijih besi berada di tangan pemerintah pusat.
Pemerintah provinsi, dalam hal ini, hanya menjadi perantara bagi para investor yang ingin menggarap potensi bijih besi. Oleh karena itu, mereka hanya bisa menyaksikan kegiatan pertambangan yang terjadi di suatu daerah.
“Pemerintah daerah kami tidak bisa berbuat apa-apa. Hanya perusahaan yang mengetahui berapa banyak bijih besi yang telah ditambang, dan laporannya diserahkan kepada Inspektur Tambang. Mengenai apakah yang ditambang hanya bijih besi atau ada yang lain, kami tidak tahu karena yang berwenang adalah pemerintah pusat,” katanya.
Sumber gambar: Sumatrabisnis.com / ckra.co.id
Sumber: https://sumatra.bisnis.com/read/20240130/534/1736575/sumbar-disebut-menyimpan-potensi-75-juta-mt-bijih-besi