Penambang Batu Bara Bayan Menggugat Kepala Investasi Indonesia Atas Hilangnya Lahan

  • Penambang batu bara Indonesia, Bayan Resources, menggugat kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal atas keputusan untuk mencabut izinnya.
  • Pencabutan ini secara efektif mengurangi 16% dari total area konsesi yang dipegang oleh lima anak perusahaan Bayan di Kalimantan.
  • Langkah ini mencerminkan keputusan terbaru dalam sengketa yang telah berlangsung lama antara Bayan dan penambang batu bara lainnya, PT Senyiur Sukses Pratama (SSP), atas bagian dari konsesi masing-masing yang tumpang tindih.
  • Pencabutan ini diumumkan sebagai bagian dari serangkaian pencabutan izin yang diperintahkan oleh Presiden Joko Widodo pada bulan Januari untuk mengambil kembali lahan dari perusahaan-perusahaan yang menurut pemerintah telah gagal mengeksploitasi lahan tersebut secara maksimal.

JAKARTA – Perusahaan tambang batubara Indonesia, Bayan Resources, menentang keputusan pemerintah untuk mencabut izinnya dan secara efektif menyusutkan area konsesinya.

Gugatan hukum ini merupakan yang terbaru dalam pertarungan yang sedang berlangsung atas konsesi pertambangan di Kalimantan antara Bayan dan perusahaan tambang lainnya, PT Senyiur Sukses Pratama (SSP).

Pada tanggal 8 April, lima anak perusahaan Bayan mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara di Jakarta terhadap Kepala Badan Penanaman Modal Nasional, Bahlil Lahadalia, karena telah mencabut izin pertambangan mereka. Pengumuman ini disampaikan dalam sebuah pengajuan kepada regulator bursa; Bayan tercatat di papan utama Bursa Efek Jakarta.

“Saat ini, tidak ada dampak terhadap keuangan perusahaan, tetapi lima anak perusahaan BYAN tidak dapat/terhalang untuk melanjutkan operasinya,” tulis perusahaan dalam keterbukaan informasi itu.

Pada tanggal 14 Januari dan 2 Februari tahun ini, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mengeluarkan surat pencabutan izin yang dipegang oleh lima anak perusahaan Bayan. Langkah ini merupakan bagian dari pencabutan izin massal yang diumumkan oleh Presiden Joko Widodo pada tanggal 6 Januari dengan alasan bahwa perusahaan-perusahaan yang terkena dampak telah gagal mengeksploitasi konsesi yang telah dilisensikan secara maksimal.

Pencabutan izin secara massal tersebut mendorong hingga 50 perusahaan tambang untuk mengajukan keluhan terhadap pemerintah.

Ridwan Djamaluddin, direktur jenderal mineral dan batubara di kementerian pertambangan, mengatakan bahwa BKPM telah mencabut 387 izin pertambangan, termasuk 137 izin untuk penambang batubara, pada tanggal 5 Maret. Ia mengatakan bahwa BKPM telah mulai memproses pengaduan-pengaduan tersebut.

“Dan kami telah menerima pihak-pihak yang mengajukan pengaduan ini dengan baik, kami telah berkomunikasi dengan [with them] dan BKPM juga telah membalas surat mereka secara resmi,” ujar Ridwan dalam rapat dengar pendapat di DPR pada 31 Maret.

  width =

Pencabutan izin anak perusahaan Bayan secara efektif mengurangi luas konsesi mereka di Kalimantan sebesar 16% secara keseluruhan, dari 13.647 hektar menjadi 11.468 hektar (33.722 hektar menjadi 28.338 hektar). Anak perusahaan yang paling terdampak adalah PT Orkida Makmur (OM), yang mengalami pemangkasan konsesi sebesar 70%, dari 1.061 menjadi 310 hektar (2.621 menjadi 766 hektar).

Alasan pengurangan konsesi tersebut adalah karena adanya perselisihan hukum yang telah berlangsung lama dengan perusahaan tambang lain, PT Senyiur Sukses Pratama (SSP), yang konsesinya tumpang tindih dengan konsesi anak perusahaan Bayan.

Jungkat-jungkit litigasi antara keduanya dimulai dengan kemenangan Bayan pada bulan Mei 2016, ketika konsesi SSP dipangkas oleh Badan Penanaman Modal Provinsi Kalimantan Timur. SSP menggugat di pengadilan administratif dan memenangkan keputusan untuk membatalkan pengurangan tersebut. Bayan, melalui OM, kemudian membawa kasus ini ke pengadilan di Jakarta, dan setelah melalui empat kali proses pengadilan, yang masing-masing memenangkan salah satu pihak, akhirnya SSP menang. Dalam peninjauan kembali oleh Mahkamah Agung pada bulan Februari 2019, konsesi awal perusahaan dipulihkan, dengan area tumpang tindih yang diputuskan berada di dalam konsesi SSP dan tidak lagi menjadi sengketa.

Oleh karena itu, BKPM memutuskan untuk mengurangi konsesi anak perusahaan Bayan dengan mengecualikan area yang sekarang berada di dalam konsesi SPP.

Grita Anindarini, direktur program di Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), mengatakan bahwa pencabutan tersebut dapat menjadi bumerang bagi pemerintah. Pengadilan yang mengadili gugatan anak perusahaan Bayan dapat memutuskan bahwa BKPM bersalah atas maladministrasi, ujarnya, jika memang badan investasi tersebut telah bertindak tanpa terlebih dahulu menggunakan opsi-opsi sanksi administratif seperti peringatan tertulis dan perintah penghentian kegiatan.

Berdasarkan peraturan pemerintah tahun 2021 tentang kegiatan pertambangan, konsesi hanya dapat dicabut secara otomatis jika pemegang konsesi telah melakukan kejahatan; jika evaluasi pemerintah telah menetapkan bahwa telah terjadi degradasi lingkungan; atau jika pemegang konsesi dinyatakan pailit.

“Jika salah satu dari kriteria ini tidak terpenuhi, maka ada maladministrasi” dalam pencabutan izin tambang anak perusahaan Bayan, kata Grita kepada Mongabay.

Gambar spanduk: Penambangan batu bara di Kalimantan Timur, Indonesia. Gambar oleh Rhett A. Butler / Mongabay.