Permintaan Batu Bara China Meningkat, HBA Tembus USD 161,63 per Ton

Harga Batubara Acuan (HBA) kembali naik mencapai USD 161,63 per ton di bulan Oktober 2021. Peningkatan ini disebabkan oleh meningkatnya permintaan batubara dari China untuk keperluan pembangkit listrik.

“Kenaikan HBA pada Oktober 2021 disebabkan oleh terus meningkatnya permintaan di China di mana saat ini permintaan batubara meningkat untuk keperluan pembangkit listrik yang melebihi kapasitas pasokan batubara dalam negeri,” kata Kepala Biro Komunikasi Layanan Informasi Publik dan Kerja Sama Kementerian ESDM, Agung Pribadi di Jakarta, Selasa 5 Oktober.

Peningkatan yang fantastis ini, kata Agung, juga dipengaruhi oleh besarnya permintaan dari Korea Selatan dan negara-negara Eropa seiring dengan naiknya harga gas bumi.

Agung mengatakan bahwa faktor-faktor di atas menjadi penyebab kenaikan harga batubara global di bulan Oktober ini. Padahal HBA sebelumnya juga sempat mencatatkan angka tertinggi dalam satu dekade terakhir, yaitu USD150,03 per ton.

“(HBA) naik lagi, naik USD 11,60 per ton pada bulan ini dibandingkan bulan sebelumnya,” katanya.

Pada bulan Februari-April 2021, HBA mengalami tren penurunan. Kemudian mengalami kenaikan berturut-turut pada periode Mei-September 2021. Kenaikan terus berlanjut hingga Oktober 2021 dan mencatatkan rekor tertinggi baru.

Sebagai informasi, HBA adalah harga yang diperoleh dari rata-rata Indonesia Coal Index (ICI), Newcastle Export Index (NEX), Globalcoal Newcastle Index (GCNC), dan Platt’s 5900 pada bulan sebelumnya, dengan kualitas setara 6322 kkal/kg kalori. GAR, Total Kelembaban 8%, Total Sulfur 0,8%, dan Abu 15%.

Ada dua faktor turunan yang mempengaruhi pergerakan HBA, yaitu penawaran dan permintaan. Dari sisi turunan pasokan, hal ini dipengaruhi oleh musim (cuaca), teknik penambangan, kebijakan negara pemasok, hingga teknis rantai pasok seperti kereta api, tongkang, dan terminal pemuatan.

Sementara itu, faktor turunan permintaan dipengaruhi oleh menurunnya permintaan listrik yang berkorelasi dengan kondisi industri, kebijakan impor, dan persaingan dengan komoditas energi lainnya, seperti LNG, nuklir, dan hidro.