Raksasa tambang Indika akan memangkas pendapatan batu bara hingga 50% dengan target neto nol


PT Indika Energy, salah satu penambang batu bara terbesar di Indonesia melalui anak perusahaannya PT Kideco Jaya Agung, berencana untuk memangkas pendapatan batu bara hingga 50 persen pada tahun 2025 di tengah tekanan yang semakin besar pada industri batu bara global.

Perusahaan, yang memperoleh 70 persen dari total pendapatannya tahun lalu dari penjualan batu bara, berencana untuk melakukan diversifikasi ke sektor-sektor lain, antara lain, logistik, pertambangan logam, hutan tanaman industri, dan energi terbarukan, yang mencakup rencana ambisius untuk mengoperasikan hampir 1.000 megawatt peak (MWp) pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) pada tahun 2025.

Sebagai perbandingan, kapasitas tenaga surya yang terpasang di Indonesia mencapai 153,5 MWp pada tahun 2020, menurut data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.

“Kami juga akan membuat komitmen untuk mencapai emisi nol di masa depan karena ini adalah tentang bagaimana menyeimbangkan [our business]. Ini juga alasan mengapa kami masuk ke bisnis berbasis alam; ini adalah tentang bagaimana kami dapat memperoleh kredit karbon,” ujar presiden direktur Indika, Arsjad Rasjid, kepada The Jakarta Post dalam sebuah wawancara pada tanggal 7 April.

Dia menolak untuk menentukan tanggal untuk komitmen nol-nol.

Indika Energy berpotensi menambah daftar perusahaan tambang multinasional, termasuk perusahaan raksasa seperti Rio Tinto yang berbasis di London dan BHP yang berbasis di Melbourne, yang telah mengumumkan komitmen mereka untuk mencapai emisi nol nol.

Rio Tinto dan BHP, yang sebagian besar bisnisnya bergerak di bidang pertambangan logam, bertujuan untuk mencapai nol bersih pada tahun 2050. Menurut laporan keuangan tahun 2020, batu bara hanya berkontribusi sebesar 14,5 persen dari total pendapatan sebesar US$42,93 miliar, menurut laporan keuangan tahun 2020.

Perusahaan tambang Indonesia ini pertama kali mengumumkan rencana diversifikasi tersebut dalam rapat umum pemegang saham pada bulan Desember 2020, tepat pada saat harga batu bara Indonesia jatuh ke level terendah dalam satu dekade terakhir pada bulan September akibat pandemi yang menutup bisnis dan pabrik-pabrik di seluruh dunia.

Selain PLTS, Indika juga mengembangkan bisnis logistik dengan mengembangkan Pelabuhan Patimban di Subang, Jawa Barat, dan bisnis pertambangan non-batubara dengan mengembangkan tambang emas Awak Mas di Sulawesi Selatan. Indika juga mengoperasikan beberapa anak perusahaan jasa pertambangan, seperti PT Petrosea, PT Mitrabahtera Segara Sejati dan PT Tripatra Engineers.

Indika juga mengembangkan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) Cirebon II berkapasitas 1.000 MW, namun kepemilikannya menyusut dari 25 persen menjadi 6,25 persen.

“Diversifikasi industri telah menjadi visi perusahaan selama beberapa tahun, tetapi perusahaan akan mulai mempercepat upayanya tahun ini,” kata kepala riset Henan Putihrai Sekuritas Robertus Yanuar Hardy.

Rencana diversifikasi Indika telah mendapat tanggapan positif dari pasar, katanya. Harga saham perusahaan yang tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) dengan kode INDY ini naik 0,82% pada hari Rabu.

Namun, akibat pandemi, rugi bersih Indika melebar 6,5 persen menjadi $117,5 juta pada tahun lalu karena pendapatan anjlok 25,4 persen menjadi $2,1 miliar di tengah rendahnya harga batu bara dan volume penjualan yang lebih rendah.

“Dalam hal batu bara kami [business], kami tidak akan mengembangkannya lebih jauh lagi. Kami akan bekerja dengan apa yang kami miliki dan melakukan perbaikan,” tambah Arsjad dari Indika.

Pada tanggal 5 Maret, Indika membentuk perusahaan patungan energi terbarukan PT Empat Mitra Indika Tenaga Surya (EMITS) dengan perusahaan energi surya yang berbasis di India, Fourth Partner Energy, sebuah portofolio di bawah perusahaan investasi berdampak, Rise Fund.

EMITS dijadwalkan untuk memasang 15 MW PV surya baru tahun ini, 183 MWp pada tahun 2022 dan 985 MWp pada tahun 2025 dalam rangka memperluas bisnisnya. Para pemegang saham EMITS telah memberikan komitmen sebesar $500 juta hingga tahun 2025 untuk mendanai proyek-proyek tersebut.

“Kemitraan dengan Indika Energy merupakan bagian penting dari ekspansi strategis kami ke pasar-pasar utama di Asia Tenggara,” ujar direktur eksekutif Fourth Partner, Vivek Subramanian, dalam sebuah pernyataan pada tanggal 5 Maret.

Perusahaan tenaga surya ini berencana untuk fokus pada pemasangan PV surya untuk utilitas dan industri dalam jangka pendek dan menengah sebelum berekspansi ke pasar perumahan dalam jangka panjang. Arsjad menyatakan bahwa Indika “selalu siap” untuk menerbitkan instrumen keuangan berkelanjutan untuk mendanai proyek-proyek tersebut.

“Sebagai sebuah perusahaan, Indika berusaha merespons kondisi saat ini dengan melakukan transformasi bisnis secara bertahap, dimulai dengan mengurangi eksposur pendapatan perusahaan dari batu bara,” ujar Fabby Tumiwa, direktur eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR).

Ia mengatakan bahwa fokus Indika dalam mengembangkan energi surya sejalan dengan rencana besar Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk memiliki 17 gigawatt (GW) pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) yang beroperasi di Indonesia pada tahun 2035 sebagai bagian dari strategi dekarbonisasi Indonesia.